Selamat datang temans, silahkan pilih menu yang kalian sukai, jangan lupa baca Bismillah ya ^_^

Bercermin dari Bolivia

Ironi Bolivia



Perjuangan kita selama 500 tahun melawan mereka yang merebut kekuasaan dari kita; sekarang sudah berkahir…..

Diatas adalah sepenggal pidato Evo Morales pada pelantikannya menjadi presiden Bolivia. Terkesan tegas, berani, dan mempunyai harapan yang tinggi. Betapa tidak, Bolivia adalah hanya negara kecil dikawasan Amerika latin dengan tingkat kemiskinan dan korupsi yang tinggi namun telah membuktikan kepada dunia mampu meruntuhkan dominasi asing yang di negaranya.

“Miskin karena kaya” slogan ini tidak sepenuhnya salah untuk mengilustrasikan negara bolivia. Bolivia adalah negara kaya karena menyimpan deposit bahan tambang yang melimpah dari gas alam, perak, sampai minyak bumi. Namun ia juga menjadi negara termiskin karena sebagin besar masyarakatnya hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu penyebabnya karena sumber daya alamnya dikelola oleh pihak asing, yang mengakibatkan adanya kesenjangan dalam menikmati hasilnya. Sebagian besar masyarakatnya dapat diibaratkan sebagai keledai yang duduk diatas bahan tambanganya. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi ikut menikmati hasilnya.

Era globalisasi ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui kebijakan structural adjustment programme oleh lembaga finansial global (IMF dan World bank) dan telah disepakati oleh lembaga perdagangan dunia dengan berbagai peraturannya yang memiliki prinsip bahwa segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan sosial tidak diakui sebagai tanggungjawab negara. Kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh ketimpangan sistem sosial lebih dilihat semata-mata kegagalan warga sendiri yang tidak mampu bertahan ditengah kompetisi yang ketat.

Krisis ekonomi yang menimpa negara dikawasan Amerika latin pada tahun 1990, menyebabkan tidak ada jalan lain bagi negara yang terkena krisis untuk meminta bantuan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia. Bantuan ini akan diberikan dengan persyaratan harus mnegikuti peraturan yang dibingkai kedalam program penyesuaian struktural (Structural adjustment Progrramme). Negara-negara peminjam harus melakukakn tiga hal, yaitu liberalisasi, deregulasi, dan privatitasi. Alhasil, bagaikan makan buah simalakama, mundur kena maju pun kena. Hal inilah yang menimpa Bolivia.

Dengan dalih issu pemberantasan narkoba tingkat internasional, Bolivia pun terkena imbasnya. Peraturan internasional menyebutkan bahwa koka salah satu bahan pembuat narkoba. Padahal, sebagian besar masyarakat Bolivia hidup dari bertani koka. koka biasa dijadikan makanan alternatif bagi masyarakat miskin. Maka denagn diberhentikannya pertanian koka membuat kondisi bolivia semakin terpuruk, sebagian besar masyarakat kehilangan mata pencahariannya.

Kekayaan alam yang melimpah tidak memiliki peranyang signifikan untuk merentaskan kemiskinan, bahkan peraturan yang mengikat mengakibatkan masyarakat bolivia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya berpasrah diri saja. Dominasi asing sudah terlanjur tertanam kuat di Bolivia yang kebijakannya sama sekali tidak pro terhadap masyarakat.

Ironi Indonesia



Masih ingat cita–cita bangsa indonesia yang tercantum dalam butir-butir pancasila. Sepertinya tidak berlebihan, hanya bagaimana bangsa kita kita menjadi bangsa yang mapan, mandiri, serta adanya kemudahan masyarakat untuk mengakses haknya masing-masing. Apakah sekarang cita-cita itu sudah terealisasi? Patut kita tanyakan kepada para pemimpin bangsa ini yang memiliki wewenang serta kebijakan untuk merealisasikannya.

ermasalahan tidak mampu menjadi tuan di negeri sendiri pun bukan lagi hal baru yang harus diwacanakan. Karena sampai sekarang kita masih terikat dengan permainan imperialisme barat. Sama halnya dengan Bolivia. Pengelolaan sumber daya alam yang kurang cerdas mengakibatkan masyarakat tidak menikmati hasilnya. Kenapa kurang cerdas? Akibat dari krisis ekonomi yang menimpa Indonesia, mengharuskan IndonesiaIndonesia. terperangkap permainan dunia yang pada akhirnya arus neoliberalisme berjalan mulus memasuki

Indonesia adalah begara kaya yang miskin. Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Indonesia merupakan produsen kopi nomor empat dunia, kakao nomor tiga dunia, timah bnomor dua dunia serta gasa alam nomor enam dunia. Namun kemiskinan Indonesia mencapai 100 juta penduduk atau setengan dari jumlah penduduk yang memilikipenghasilan kurang dari US$2. Jika itu terjadi di negeri yang tandus dan gersang dan tanpa kekayaan, mungkin dapat di pahami, tetapi ini terjadi di Indonesia yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan, Dominasi asing hampir menyentuh 90 % untuk pengadaan barang dan jasa penunjang migas.

Meskipun telah menimbukan berbagai dampak negatif dan banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat terhadap eksistensi mereka, akan tetapi pemerintah belum bertindak tegas. Selain itu, sudah banyak bukti-bukti konkret yang menunjukkan bahwa kehadiran mereka justru menimbulkan kerugian yang besar terhadap rakyat di negeri ini. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya memikirkan keuntungan bisnis dan cenderung mengabaikan persoalan lingkungan hidup dalam operasi mereka. Pelanggaran HAM pun kerap terjadi. Misalnya yang terjadi pada suku Amungme di Papua yang dipaksa untuk mengungsi keluar dari tempat tingalnya setelah mereka menemukan cadangan mineral di daerah tersebut.

Sekarang, perusahaan exson mobil telah resmi memperpanjang kontraknya menjadi pengelola ladang minyak di blok cepu meski telah ditentang oleh banyak kalangan. Exson mobil hanyalah salah satudari sekian banyak perusahaan multinasional yang mengexplorasi sumber daya alam di Indonesia seperti Freeport, Shell, Total, Chevron, British petroleum, Newmont, dan lainnya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?

Bolivia bangkit, Indonesiapun harus bangkit!

Memang, Jika sebuah negara telah di dominasi oleh perusahaan asing, rasanya sangat sulit untuk bangkit kembali dari keterpurukannya. Namun wacana itu dipatahkan oleh Bolivia, dibawah kepemimpinan Evo Morales mampu meruntuhkan dominasi asing yang telah lama berdiri di negaranya.

Kebijakan pro rakyat yang diusungnyabenar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Pemotongan gaji sebesar 50% untuk mencukupi dana pendidikan patut membuat kita kagum, keberpihakannya kepada rakyat benar-benar dilakukanya secara konkret. Melegalkan koka pun menjadi agenda kebijakannya, Akhirnya lahan seluas 12.000 hektar diizinkan kembali untuk digunakan sebagi lahan pertanian. Kebijakan populis lainnya adalah land revorm dengan menyerahkan seperlima lahan negara kepada petani-petani miskin di Bolivia. Hampir 90 % lahan pertanian dikuasai hanya sebagian orang saja, sedang

sisanya yang digunakan oleh petani miskin yang merupakan kondisi mayoritas penduduk Bolivia. Kebijakan land reform ini memiliki tujuan agar masyarakat miskin dapat menikmati juga sumber daya alam yang ada di negarnaya. Tidak samapi disini, Evo juga melakukan kebijkaan reformasi konstitusi dengan tujuan konstitusi ini berisikan cara-cara mengatasi kesenjangan sosial ekonomi untuk menghilangkan dominasi dan peran kaum minoritas keturunan Eropa agar ikut serta dalam memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pribumi asli yang mayoritas hidup dibawah garis kemiskinan. Kebijakan

sosial pun turut dipertimbangkanny untuk masyarakat miskin dengan berbagai program sosialnya seperti pemberian pendidikan, kesehatan dan perumahan gratis bagi warga miskin. Dengan tujuan dan harapan agar masyarakat miskin juga memilki akses yang sama dalam hal pelayanan sosial dan pendidikan. Yang terakhir, sungguh menunjukkan kekomitmenan Evo yaitu menasionalisasai perusahaan-perusahaan gas dan minyak bumi untuk mengkontrol kekayaan alam bolivia. Sungguh sebuah langkah yang amat berani, karena Evo menginginkan hasil dari bahan tambang itu digunakan untuk mengatasi kemiskinan yang ada di Bolivia. Dengan adanya perusahaan asing yang mengelola sumber dayanya, jelas Bolivia telah kehilangan kedaulatan serta hasilnya. Alhasil, tindakan tegas dan berani ini membawa hasil yang signifikan. Dalam tempo 180 hari, banyak perusahaan asing yang menandatangani kontrak kerja.

Kebijakan-kebijakaan diatas memberikan kesan yang dalam terhadap sosok evo yang berpegang teguh terhadap idealismenya dalam meningkatkan harkat dan martabat rakyatnya yang didasari filosofi bahawa tidak ada ynag diberika oleh kapitalisme barat kecuali kemiskinan dan penindasan.

Kebijakan tegas yang populis dari Evo sungguh membuat masyarakat Indonesia iri. Evo benar-benar menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan Bolivia sebagai alat untuk memakmurkkan rakyat dan bukan sebagai alat melindungi kepentingan modal serta sistem ekonomi kapitalisme yang dikembangkan oleh Amerika serikat dan sekutunya.

Memang Indonesia bukan Bolivia, namun jika menganalisis permasahana yang ada di Bolivia tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Sebuah negara kaya yang miskin. Jadi apa yang mesti kita tunggu untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik? Rasanya sudah bosan kita mendengar janji-janji pemimpin kita saat kampanye berlangsung.

Prinsip-prinsip dan komitment teguh dari evo inilah yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin di Indonesia. Apalagi kepemimpinannya dalam menghadapi kapitalis global memang pantas membuat kita iri dan memimpikan pemimpin seperti dia. Ada makna tersirat dari kepemimpinann Evo, yaitu menunjukan bahwa dibawah pimpinan politik yang benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak, perusahaan raksasa pun dapat dilawan. Sepertinya prinsip evo yang menyadari bahwa perubahan sosial tidak mungkin akan berjalan baik tanpa memberikan perhatian terlebih dahulu terhadap masyarakat miskin dan prinsip ini pun harus tertanam bagi pemimpin di Indonesia.

Lalu, adakah pemimpin di Indonesia seperti Evo? Kita merindukkannya.

*Artikel ini diterbitkan pada kolom artikel koran Radar Banten Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...