Selamat datang temans, silahkan pilih menu yang kalian sukai, jangan lupa baca Bismillah ya ^_^

Teruntuk Kalian, yang Istiqomah di Jalan Dakwah!!!

Yaa Allah, sesungguhnya Engkau maha mengetahui, bahwa hati-hati ini telah berkumpul, untuk mencurahkan cinta hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di jalan-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Yaa Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. {Do’a Rabithah}
 
Hebat, itulah yang terlintas. Saat mendapati sejumlah wajah yang akan mengisi barisan. Wajah-wajah inilah yang akan bersama-sama membangun peradaban islam dengan da’wah dan tarbiyah. Kepada orang-orang inilah, aku akan berusaha mencurahkan segala yang terbaik. Merekalah orang-orang besar itu, yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi bahan bakar pergerakan. Ketika cahaya pelita da’wah dan tarbiyah ini lamat-lamat meredup. Merekalah yang akan menggantikan bara yang lebih memilih menjadi abu, atau menghilang bagai debu.
Saat itu, kau mungkin tak tahu mengapa? Akupun juga tak tahu bagaimana? Ketika seseorang yang itu adalah aku ataupun kau, terpilih mengemban amanah yang tak pernah terbersit sekalipun sebesar zarrah, hadir dalam angan dan cita-cita. Amanah yang merupakan risalah para Nabi. Yakni menegakkan kalimah Tauhid di muka bumi disertai orisinalitas ajaran sang Khatamun Nabiyyin, Muhammad SAW. Itulah ‘ma’na syahadatain’ yang menjadi dasar pijakan para du’at. Dua kalimat itu beserta segala konsekuensinyalah yang diamanahi kepada umat Muhammad SAW, untuk ditegakkan di muka bumi ini. Itulah tugas kita, itulah janji setia (aqidah) kita!
Kumpulan orang-orang sholeh inilah yang menjadikan logika demokrasi dan teori manajemen tersudut malu dalam peraduan berpikir. Mau di-apa dan bagaimana-kan orang-orang besar ini di bawah pemimpin yang tak memiliki ambisi berkuasa, namun melakukan begitu banyak pengorbanan untuk dan atas nama keimanannya. Lantas logika apa yang membuat mereka bersatu? Dalam sebuah kontemplasi, aku teringat akan sosok mujadid dan mujahid da’wah nun jauh di negeri Mesir. As Syahid Hasan Al Banna-rahimahullah- namanya, beliau memberikan logika persatuan; sebuah warisan peradaban yang lama terkubur di dalam benak umat muslim. Ukhuwwah, warisan para Nabi, saudara bagi orang beriman.

Beginilah Sang Imam memberi definisi terhadap ukhuwwah, “Yang saya maksudkan dengan ukhuwwah adalah terjalinnya hati dan ruh dengan ikatan aqidah. Dan aqidah adalah ikatan yang paling kokoh dan paling mahal. Ukhuwwah adalah saudaranya iman. Dan perpecahan adalah saudaranya kekafiran. Kekuatan pertama adalah kekuatan persatuan. Dan tidak ada persatuan tanpa kecintaan. Batas minimal cinta adalah lapang dada. Dan tingkat paling tingginya adalah itsar.” (Hasan Al Banna, Majmu’atur Rasail) Dalam risalah ini, beliau juga menyampaikan rukun yang harus dibangun dalam ber-ukhuwwah. Ta’aruf, Tafahum, dan Takaful.

Ta’aruf
Hasan Al Banna memformulasikan ta’aruf sebagai hal yang pertama dan utama dalam hal persaudaraan sesama muslim dan mu’min. Inilah ujian pertama ukhuwwah. Umat ini bagaikan satu tubuh, berarti ada organ, ada banyak jaringan, bahkan berapa banyak sel. Tiap-tiap bagian tadi memiliki nama. Berarti, jika dalam jaringan itu terdapat ribuan sel dan di dalam organ itu ada ratusan jaringan. Berarti ada berapa banyak sel yang mesti kita kenal, apalagi di hapal? Belum lagi mengetahui keberadaannya, karakteristiknya, tingkat kesensitifitasannya , kebugarannya, belum lagi dan lagi. Itu baru satu organ, bagaimana kalau seluruh tubuh?
Di tahapan awal inilah ukhuwwah kita diuji dalam tahapan yang cukup kritis. Ini merupakan tes kognitif. Seberapa besar aku, kau, dan dia mencerap data dan informasi. Dalam logika komputer, data dan informasi tersebut akan diterjemahkan sebagai bilangan biner, yang bernilai 1 untuk True dan 0 untuk False. Sehingga menurut teori komputasi dasar, ketika data di proses, data bernilai 1 akan di teruskan melalui media listrik kemudian dialirkan menuju ’storage’ menjadi basis data. Apabila data bernilai 0 maka komputer akan menolak memproses, biasanya muncul pesan di layar “Sudahkah anda menginput data dengan benar?” atau “Data tidak lengkap, coba masukkan data sekali lagi!”. Begitulah kiranya otak ini bekerja, memang rumit menjelaskannya. Sederhananya, fasa ta’aruf baru saja mengeksplorasi sebagian akal.

Tapi ta’aruf bukan sekedar hapal mati atau angka-angka. Ta’aruf yang dimaksud disini termasuk warna berikut gradasinya, tekstur berikut konturnya, garis berikut sudut-sudutnya, bahkan kombinasi kesemuanya. Ta’aruf yang baik akan menciptakan sebuah mahakarya bercitarasa tinggi. Hingga sulit kita mencari cela, karena begitu indahnya gambaran ‘dia’. Begitupun ta’aruf juga berupa suara dengan karakteristik nada, resonansi beserta interval antaranya. Sehingga dengan mata tertutup sekalipun kita dapat tahu kehadirannya, di telinga kita ‘dia’ hadir bagai sebuah alunan simfoni yang merindu syahdu. Adapun ta’aruf yang berhasil hanyalah akan menumbuhkan cinta. Ya, cinta dan hanyalah cinta.

Logika ukhuwwahpun akan bertransformasi dari sekedar hipotesa menjadi konklusi. Benarkah cinta datang karena intens-nya interaksi? (Witing Tresno Jalaran Soko Kulino). Ataukah memang benar, dialah ‘orang’ itu? Dalam analisa ukhuwwah, cinta bisa hadir saat aku, kau, dan dia baru saja bersua. Pandangan pertama (first sight), salam pertama! Ya, karena cinta kita dilandasi oleh ikatan aqidah, ikatan yang sangat tak ternilai. Ikatan yang lebih dekat daripada hubungan darah sekalipun. Karena Allah, karena Rasulullah dan karena tingginya Dien kita.

Jadi saat cinta menyapa, cinta bisa langsung menggambarkan ‘dia’ sebagai sesuatu yang indah. Bahasa okemnya ‘Otomatis Romantis!’. Karena ta’aruf berlandas aqidah, mengembangkan kuncup-kuncup cinta disaat bunga-bunga lain baru disemai. Sampai pada saatnya kita dengan yakin berkata pada dunia; U’r the ‘one’.. and I just wanna say, I really love you bro/sis, because of Allah!

Tafahum
Selanjutnya, agar cinta bersemi indah, ukhuwwah diuji melalui sisi afeksi (rasa). Adakah cinta itu tulus, atau hanya sekedar formalitas. Bagai seorang front officer yang mengembangkan senyum disaat hati meradang. Senyumnya diuji dengan ketulusannya, atas dasar hati ataukah sekedar profesionalisme? Anis Matta berkata, “Senyuman yang dibangun atas dasar kerdilnya hati hanya akan membuat pipi menebal” (Anis Matta, Serial Cinta). Rasanya memang tidak mengenakkan, tidak punya taste! Hmm. Terlepas dari senyumnya yang ambigu, ada tanya buatmu dan buatku. Apakah kita bersedia membalas senyumnya? Psst.. Jangan dijawab, just do!

Saudaraku, mari kita berkontemplasi sejenak, Lihatlah sedikit dekat. Apa reaksi kita ketika mengetahui bahwa ada seorang ikhwan di sekitar kita yang ’sunduk’nya sudah mengering di pertengahan bulan. Lalu karenanya, ia harus berjalan kaki berkilo-kilo meter hanya untuk menghadiri syuraa’ kampus. Sehat memang, tapi apa kita bisa memahami bahwa keikhlasan menuntun langkahnya hingga bisa sampai ke hadapanmu dengan wajah tetap tersenyum. Karena dia tahu, engkau tak pantas menerima kedzaliman darinya atas ketidakhadiran atau bahkan sedikit keterlambatannya. Sungguh ikhwah berhati bening seperti itu perlu perhatian lebih dari sekedar senyuman.

Atau, simak kisah yang satu ini saudaraku. Ada seorang akhowat yang menghabiskan waktu malamnya dengan membuat panganan terbaik buat daurah esok hari. Namun, sewaktu daurah tiba para peserta bahkan panitianya malah asyik membeli jajanan di luar lokasi daurah yang mereka anggap lebih menarik selera, lalu membiarkan panganan buatan akhowat itu mengering dingin, terabaikan dan terpinggirkan. Sepele memang, tapi terpikirkah saat itu perasaan sang akhowat? Ya, fasa ini lebih banyak membicarakan ‘rasa’. Bagaimana mengukur dalamnya palung hati, luasnya samudera kesabaran sekaligus volume air keikhlasannya.

Saudaraku, aku, kau, dan mereka memiliki hak untuk diperhatikan. Fitrah, saat diri ini merasa sepi berjalan di koridor yang sesak manusia. Hanya raga yang berjajar, tanpa sukma yang menyambut ramah. Hingga tanpa mengukur ‘rasa’ orang lain, kita lebih sering menggerutu; “Mereka tidak paham keadaanku!”. “Dimana mereka saat aku terpuruk?” Huh ‘Lebay’ sekali nampaknya, tapi begitulah ‘rasa’. Ia mendominasi wadahnya sendiri, yaitu hati. Hati yang rapuh akan mudah sekali diintimidasi oleh ‘rasa’. Harusnya hati (nurani) yang menjadi panglima, bukan terposisikan bagai induk semang yang dikuasai oleh alien.

Saudaraku, ‘rasa’ku butuh kau pahami. Begitu juga ‘rasa’mu butuh untuk kami pahami, bahkan mereka! Maka, masih menurut Anis Matta, “mulailah belajar seni memperhatikan.” Buatlah mereka ada, di titik itulah mereka menganggapmu ada, lalu berlapang dada-lah. Inilah tafahum yang akan memunculkan keterikatan hati, agar jasad ini menggenapkan sisi humanis nya. Bukan sekadar datang, duduk, diam apalagi mengharapkan duit. Bukan saudaraku, bukan begitu ukhuwwah kita.

Bertawakallah kemudian. Allah saja yang akan menyatukan hati manusia , kuasa ini tidak pada manusia. Hati yang bersatu maka akan memudahkan persatuan lainnya. Keterikatan juga perlu diteruskan kepada pemikiran dan amal. Dengan tafahum ini maka akan muncul keterikatan hati, keterikatan pemikiran sesamanya dan keterikatan amal. (Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim). Dengan bekal ta’liful quluub, ukhuwwah kita akan berlanjut ke arah yang lebih kontan dan konkrit. Insya Allah..

Takaful
Kira-kira beginilah proses tafahum bermetamorfosa menjadi takaful. Dari afeksi menjadi aksi! Ukhuwwah pada fasa ini menyentuh sisi psikomotorik manusia. Bukanlah cinta tanpa pengorbanan, begitupun ukhuwwah tanpa harokah. Energi cinta pada saatnya akan meletup-letup, memukul-mukul pintu hati untuk segera keluar dari singgasananya. Cinta menempatkan diri pada makna keagungan-nya, yaitu pemberian. Cinta itu take n’ give!

Untuk yang satu ini, izinkan aku menyampaikannya dengan bercerita. Suatu malam, aku mendapat kabar bahwa ada seorang ikhwah yang anggota keluarganya tertimpa musibah berat. Lunglai tubuhku mendengarnya, bahkan aku tak kuasa terlelap di malam yang dingin. Senantiasa bermunajat, agar Allah segera mencabut musibah darinya. Malam itu, telepon seluler terus berada di genggaman, mencari cara agar diri ini bisa bermanfaat baginya. Kuhubungi sebanyak-banyaknya ikhwah untuk bisa bersama-sama membantu meringankan. Tak lupa aku berusaha menghiburnya walau hanya sebuah pesan singkat yang tak lebih dari 160 (seratus enam puluh) karakter. Akhirnya, malam itu juga kuterima kabar duka darinya, Innalillah.

Lain lagi dengan cerita yang satu ini saudaraku. Sebuah Lembaga Da’wah Kampus (tak perlu aku sebutkan namanya) di suatu Ramadhan yang penuh berkah, menghadapi suatu persoalan. Klasik memang, tapi menjadi niscaya dalam dunia da’wah moderen. Pendanaan. Yup, it’s all about money! Perangkat acara sudah siap, perizinan ok, bahkan pengisi acara sudah on fire! Artis Ibukota lagi. Tapi, perlu suprastruktur untuk merampungkan infrastruktur. Mereka defisit, beberapa hari kedepan acara dilangsungkan, badai krisis siap menerjang. Cadangan devisa tak dapat digunakan mendadak. Bila gunakan dana non budgeter, mereka bisa terindikasi ‘risywah’ (korup).

Mereka akhirnya memilih jalan keluar yang cukup berani. Butuh pengorbanan serta banyak keikhlasan, disinilah cinta diuji dengan sangat berat. Mereka telah sama-sama tahu bahwa mereka bersatu karena cinta, merekapun paham bahwa saling cinta karena Allah. Tapi ‘rasa’ cinta saja pada saat seperti ini tidaklah cukup. Cinta berbentuk rasa tak bisa berbuat banyak. Cinta tak sekadar teoritis, ataupun romantis, tapi cinta butuh penjabaran praktis. Apa yang bisa kau perbuat cinta!?

Saat inilah cinta perlu dibuktikan! Dihimpunlah dana dari ’sunduk’ mereka. Ada yang mesti berpuasa karena hal ini. Ada yang membongkar tabungan masa depannya. Terjuallah sebuah monitor dan printer tua itu. Ada pula yang rela berpanas-panasan di pasar ‘kaget’ menjual panganan kecil. Semua mereka lakukan karena satu hal. Selamatkan Da’wah! Orang lain tak perlu tahu kisah ini, biarlah ini konsekuensi kami (kata mereka). Syuraa’, tlah memutuskan, biar kami yang menanggung beban. Subhanallah.

Saudaraku, bila kau hitung, jumlahnya tak seberapa. Kelak jika kau menerima untuk pertama kalinya gaji/honor/keuntung an usaha-atau apapun sebutan untuk maisyahmu itu-, aku yakin kau akan tersenyum simpul. Atau akan bertanya “koq bisa?” Jumlah kekurangan dana mereka cuma dua setengah juta rupiah! Saudaraku. Ya, ‘cuma’ segitu!? Memang jumlah tersebut hanya akan terasa berat bagi kantong mahasiswa.
Sungguh, aku tak tahu, gerangan apa yang membuatku, kau, dan mereka, tergerak melakukan itu semua. Pasti kau mempunyai pengalaman yang serupa? Mungkin lebih mengharu-biru, bahkan lebih heroik. Kisah diatas baru aku sadari kemudian, bahwa itu adalah bentuk aksi cinta ukhuwwah; inilah wujud takaful-bebanmu adalah bebanku-. Inilah itsar, bentuk sejatinya cinta!

Saudaraku, mendengar, mengalami dan menghayati kisah-kisah di atas semakin meneguhkan cintaku, cintamu, dan cinta mereka menjadi senyawa cinta yang bersemayam indah di bawah naungan iman. Cinta karena Allah. Ada rona bahagia di sana, ada pengorbanan, ada cemburu, ada tangisan mengharu-biru, bahkan ada darah yang tertumpah! Dimana akhirnya aku sadar, cintaku kepadamu saudaraku (kau dan mereka), mendahului besarnya cintaku terhadap diriku. Yakinlah, Persatuan seperti ini yang akan menggentarkan musuh-musuh da’wah. Cinta beginilah yang akan membuat mereka berpaling dari kegersangan jiwa kaum kufar menuju kesejukan hati seorang muslim. Wallahu’alam Bis Shawab.Yaa muqallibal quluub, tsabbit quluban ‘alad diinik

Mengalirlah cinta ke sungai-sungai terjaga, bertumbuhlah pohon-pohon peradaban…

dari milist

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...