Dalam perspektif komunikasi global, penerjemahan memiliki peran
yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, sebagai bagian dari
pengembangan intelektual intellectual
development) dan pembentukan citra (image building). Peran strategis
yang dimiliki oleh penerjemahan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa (1)
penerjemahan merupakan akses terhadap inovasi Iptek dan (2) media bagi
pengenalan dan apresiasi lintas budaya. Globalisasi yang dicirikan oleh
keterbukaan, persaingan dan kesalingtergantungan antar bangsa telah menjadikan
terjemahan sebagai medium komunikasi yang penting dan perlu di masa-masa
mendatang. Tuntutan akan percepatan alih ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang bersumber dari acuan-acuan berbahasa asing dan penerbitan capaian iptek
dan pengenalan budaya daerah dan nasional melalui bahasa asing ke dalam
peradaban dunia menjadikan penerjemahan dan studi tentang terjemahan sebagai
masalah nasional dan tantangan bagi pakar linguistik dan praktisi penerjemah,
serta lembaga perguruan tinggi.
Terlepas dari sulit dan kompleknya masalah dan proses
penerjemahan, pentingnya penerjemahan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya bagi Negara-negara berkembang telah diakui dan dirasakan
oleh berbagai pihak. Jepang, umpamanya, merupakan contoh klasik dari cerita
sukses program penerjemahan bagi pembangunan suatu bangsa. Usaha penerjemahan
besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Jepang telah menghasilkan perkembangan
sain dan teknologi yang cepat. Dengan demikian penerjemahan telah menjadi
katalisator bagi kemajuan suatu bangsa dan berkat usaha-usaha penerjemahan
itulah sekarang Jepang bisa mensejajarkan dirinya dengan Negara-negara maju.
Selain Jepang, Eropa Barat juga merasakan manfaat yang serupa. Sebagaimana
dikutip oleh Alwasilah (1997), Louis Kelly mengatakan dalam The True
Interpreter (1979) bahwa dalam mengembangkan peradabannya, Eropa Barat
sangat berhutang budi pada para penerjemah yang telah bertindak sebagai
mediator antara penulis dan pembaca dari latar belakang bahasa yang berbeda.
Pada hakekatnya proses penerjemahan merupakan pengungkapan sebuah
makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan di
permukaan, fenomena ini muncul sebagai pengalihan kode (transcoding)
atau sistem bahasa. Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah
pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa sasaran);
(b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan atau
tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keasliannya
Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja
bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya
adalah penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami
hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya.
Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada
besarnya perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara
teoritis penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat adanya kesenjangan
linguistik dan budaya, namun secara praktik kegiatan penerjemahan sampai
batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan
di dalam bahasa sasaran. Hal ini dimungkinkan akibat adanya sifat-sifat
universal bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan di dunia (Lihat Hoed,
1992:80). Pada tulisan akan mencoba memaparkan implikasi kesenjangan budaya
terhadap proses penerjemahan dengan harapan bisa memberikan pemahaman terhadap
berbagai fenomena penerjemahan.
Dinamika Penerjemahan
Proses penerjemahan bisa berlangsung ditentukan oleh translatability,
yakni kemungkinan sebuah teks bisa dialihkan dari bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran. Dapat tidaknya sebuah teks diterjemahkan bergantung pada
tuntutan atas teks yang diharapkan dalam bahasa sasaran. Moeliono (1995)
menilai bahwa kemungkinan penerjemahan suatu teks ditentukan oleh (1) kesamaan
atau perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran; (2) kadar kontak
antara kedua bahasa itu; (3) taraf kesamaan yang diupayakan antara teks sumber
dan teks sasaran; dan (4) maksud yang mendasari produksi teks terjemahan.
Model di atas menunjukkan bahwa kemungkinan tercapainya padanan
mutlak, padanan ideal, terjemahan sepadan tapi beda cakupan makna serta sepadan
tapi bentuk tak berkorespondensi sejalan dengan arah kedekatan kekerabatan dan
tipologi bahasa sumber dan bahasa target. Semakin dekat kekerabatan atau
semakin mendekati tipologi bahasa sumber dengan bahasa target semakin besar
kemungkinan terjadinya padanan mutlak dan sebaliknya semakin jauh kekerabatan
atau beda tipologi bahasa sumber dengan bahasa target semakin besar kemungkinan
terjadinya padanan yang tidak berkorespondensi secara formal. Padanan ideal
atau mungkin padanan mutlak cenderung berpeluang terjadi pada tataran
granmatikal yang lebih kecil khususnya kata (dan sejumlah frasa) serta kasus borrowing
yang menembus batas kekerabatan dan tipologi bahasa.
Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya
sifat universal bahasa dan konvergensi budaya tetapi fakta menunjukkan bahwa
suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki suatu budaya sering
amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber) sehingga sulit
menemukan padanan leksikal. Untuk menangani masalah kesenjangan atau perbedaan
(mismatch) ini menurut Nida (1964) dan Larson (1988) perlu dilakukan
penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini memerlukan suatu strategi yang
sangat ditentukan oleh kompetensi penerjemah, metode penerjemahan dan sasaran
terjemahan.
Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang
komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang
semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas.
Untuk itu setiap penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan
pengubahan (Machali, 2000:104). Newmark (1988) menilai bahwa sebuah teks yang
akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum
dialihkan.
Gambar tersebut di atas mengindikasikan bahwa penerjemahan menurut
Newmark (1988 bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan ditentukan oleh
cara pandang atau pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai poros. Oleh
karena itu Hoed (dalam Machali, 2000:xi—xii) menilai bahwa dalam proses
penerjemahan kesepuluh faktor tersebut harus dipertimbangkan karena berakibat pada
perlunya audience design, pemilihan metoda dan teknik serta pengambilan
keputusan.
Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil
oleh penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor
penentu tersebut di atas Machali (2000:105) memberikan suatu pegangan dasar
dalam proses penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan
Newmark tersebut di atas, menunjukkan bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’
kebenaran berupa fakta atau substansi permasalah yang akan diterjemahkan
yang dibahas dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan
yang ada tidak menyebabkan perubahan truth (tetap mempertahankan makna
referensial) maka kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran
lain yang menyangkut kaidah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika di atas) tidak
membuat bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut
di atas memberi peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali (2000:106)
mengungkapkan bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan
disebabkan oleh (1) merupakan terjemahan manusia (human translation
bukan terjemahan mesin (machine translation); (2) bahasa bukanlah sebuah
“jaket pengaman” yang mengikat pemakainya (penerjemah) untuk hanya memilih satu
bentuk tertentu; dan (3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan,
prasangka,dll. yang ikut mempengaruhi dalam proses penerjemahan.
Bahasa dan Kebudayaan serta Implikasi Teoritisnya Terhadap Kajian
Terjemahan
Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang
sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan.
Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap
dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri,2001:120).
Bassnett (1998:13--14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai
dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan kematian salah satunya ditentukan oleh
yang lain dengan menyatakan bahwa bahasa merupakan “the heart within the
body of culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling
tergantung satu sama lainnya.
Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam
bahasa sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh pakar (seperti Sapir, Boas
dan Bloomfield). Edward Sapir, misalnya, menyatakan bahwa kandungan setiap
budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan adanya tidak saja
hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa tetapi juga antara bahasa dan
adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat
hubungan budaya itu terhadap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya
tercermin dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa itu tidak hanya
terbatas pada tingkatan kosa kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang
lebih luas lagi seperti misalnya pada aspek retorika (Wahab, 1995:37-56)
Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai
bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan
pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu
penerjemah harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek
budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau
diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain sangat
penting bagi penerjemah untuk mempertimbangkan tidak saja dampak leksikal pada
pembaca bahasa sasaran tetapi juga cara bagaimana aspek budaya tersebut
dipahami sehingga akhirnya menerjemahkan merupakan suatu keputusan yang harus
diambil penerjemah (Lihat Bassnett (1980:23))
Implikasi praktis dari Kesenjangan Budaya dalam Penerjemahan
Bahasa merupakan bagian kebudayaan dan sekaligus juga merupakan
sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga perbedaan budaya berarti
perbedaan bahasa. Newmark (1988:94) mendefinisikan kebudayaan sebagai “the
way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a
particular language as its means of expression.” Konsep budaya tersebut
mengandung kata-kata kunci “way of life”, “peculiar to community”, dan
“particular language” sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda
dengan budaya yang lainnya. Dari definisi tersebut dapat dimengertikan bahwa
budaya merupakan keseluruhan konteks di mana manusia berada berfkir dan
berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus menjadi perekat suatu komunitas.
Secara lebih spesifik, Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam
tiga katagori; (1) bahasa bersifat universal, (2) kultural, dan (3) personal.
Kata-kata dasar seperti tidur, makan, mati, bintang dan bahkan kata-kata
yang berupa artefak seperti meja atau cermin adalah universal sehingga
dikaitkan dengan penerjemahan tidak akan menimbulkan masalah karena semua
budaya memiliki bahasa yang mampu mengekspresikan konsep-konsep tersebut.
Tetapi kosa kata seperti misalnya ngaben, pura, banjar dan
dokar bersifat kultural (hanya dimiliki budaya masyarakat Hindu Bali)
sehingga dalam penerjemahannya ke dalam bahasa lain akan menimbulkan
permasalahan yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman konsep. Bahasa
bersifat personal mengacu pada cara berekspresi seseorang dalam suatu bahasa
atau idiolek. Bahwa bahasa bersifat personal juga dikemukakan oleh Zaky (2000)
dengan mengatakan bahwa oleh karena bahasa bisa dipandang sebagai sikap atau
prilaku maka prilaku penutur suatu bahasa juga mewarnai gaya berbahasanya
seperti interferensi yang dilakukan penutur asing dalam memaksakan penggunaan
gramatika bahasa ibunya terhadap bahasa yang digunakan.
Selanjutnya Newmark (1988:95—103) mengelompokkan makna berkonteks
budaya ke dalam katagori (1) ecology termasuk flora, fauna, angin,
lembah, gunung, (2) material culture atau artefak seperti makanan,
pakaian, perumahan dan kota, transportasi, (3) social culture termasuk
kerja (work) dan waktu luang (leisure), (4) organisations,
customs, activities, procedures, concepts yang bersifat politik dan
administratif, religius, dan artistik dan (5) gesture dan habits.
Implikasi praktis yang ditimbulkan oleh kesenjangan budaya
tercermin dalam pemilihan strategi/ prosedur penerjemahan. Terdapat banyak
strategi alternatif untuk menangani masalah ketidaksepadanan dalam proses
penerjemahan. Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh berbagai pakar.
Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000:84--93) misalnya melihat banyak sekali
alternatif pemadanan dan menyarikannya dalam dua kategori besar yakni (1)
pemadanan langsung (direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique
translation) yang terdiri dari tujuh strategi berbeda; Larson
(1998:169—193) mengelompokkan strategi pemadanan berdasarkan apakah suatu
konsep bahasa sumber dimiliki/ dikenal dalam bahasa sasaran atau tidak dan
mengusulkan tidak kurang dari sembilan alternatif cara pemadanan. Hampir sama
dengan Vinay dan Darbelnet, Bell (1991: 70--71) juga menunjukkan tujuh cara
berbeda untuk bisa mengalihkan makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran; Baker (1991:26--44) mencatat paling sedikit ada delapan alternatif
cara menangani ketidaksepadanan; Newmark (1988:68--93) bahkan melihat tidak
kurang dari enambelas alternatif, dan Machali (2000:62—73) walaupun menyadari
banyaknya alternatif yang ada tetapi dalam kasus-kasus penerjemahan
Inggris-Indonesia melihat hanya 5 strategi yang menonjol. Dalam makalah ini
tidak membahas berbagai strategi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan.
Walaupun terdapat berbagai alternatif penerapan namun suatu cara pemadanan sangat
ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya sumber dan
sasaran. Di samping itu strategi tersebut tidak hanya bisa diterapkan secara
sendiri-sendiri tetapi mungkin juga dikombinasikan dengan strategi yang lainnya
sekaligus. Berdasarkan pengamatan dan studi yang pernah saya lakukan, terdapat
suatu kecenderungan model pemadanan makna berkonteks budaya dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris, yakni (1) borrowing, (2)
dekulturalisasi, dan (3) adaptasi atau substitusi kultural.
Pemadanan melalui borrowing adalah strategi pemadanan makna
dengan mengambil dan membawa item leksikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran tanpa modifikasi formal dan semantik. Rasionalisasi penerapan strategi
ini terletak pada tujuan untuk mempertahankan keutuhan pesan dan memperkenalkan
kekhasan budaya bahasa sumber. Kecenderungan pola borrowing terjadi pada
proses pemadanan makna berkonteks budaya implisit atau pada kasus-kasus di mana
konsep berkonteks budaya dalam bahasa sumber tidak dimiliki/ tidak diketahui (unknown)
dalam bahasa sasaran. Untuk memperjelas makna serta meyakinkan sasaran
terjemahan (target audience) menangkap pesan atau makna berkonteks
budaya tersebut, borrowing sering disertai dengan modifikasi, deskripsi
atau eksplanasi dari konsep bermakna budaya dalam bahasa sumber seperti yang
bisa dilihat dalam pemadanan berikut:
1. Ia mengerti. Dukun sudah mulai diundang untuk menggempur hatinya. She
knew what was happening, They had asked a dukun - a medicine man - to try to influence
her feelings (VC)
2. Dulu, mati ditabrak di jalan raya memang aib besar. Peristiwa
semacam itu disebut mati salah pati. In earlier times, to be killed on the
roads was a terrible misfortune. There was even a special term for it: Mati
Salah Pati – Death by Misfortune. (VC)
Dalam konteks penerjemahan
dekulturalisasi dimaksudkan sebagai suatu strategi pemadanan yang digunakan
penerjemah untuk mengalihkan makna berkonteks budaya bahasa sumber dengan cara
menetralisir atau menggeneralisasi kata-kata tersebut atau menggunakan
kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan kadangkadang
dengan ungkapan spesifik baru. Alasan pemilihan strategi dekulturalisasi
terletak pada orientasi penerjemah untuk mempertahankan keutuhan pesan di satu
sisi dan keterbacaan (readability) bagi sasaran terjemahan (target
audience) di sisi lain. Cara ini tidak jarang disertai dengan penambahan
uraian khusus berupa eksplanasi atau deskripsi Berikut adalah berapa kasus
dekulturalisasi:
1. Juga di sana menata banten dan ayahnya membuat lawar pada hari
raya. There she would arrange offerings, and on holidays her father would
prepare special ceremonial dishes.
2. Ia sangat girang kalau ada arisan, dan selalu membuat
kegiatan-kegiatan baru bersama kawan-kawannya sehingga ada alasan untuk ke luar
rumah. She was mad about social gatherings like savings clubs and always
dreaming up new activities so that she and her friends could get out of the
house.
Kecenderungan ke tiga, yakni adaptasi atau substitusi kultural
merupakan pemadanan makna kata-kata yang mengacu THING atau EVENT yang tidak
sama benar tetapi dimiliki oleh bahasa sasaran. Dalam hal ini acuan dunia nyata
dan budaya sasaran sebagai pengganti acuan yang tidak dikenal dari budaya
sumber tersebut. Rasionalisasi penerapan strategi substitusi kultural ini
beorientasi pada sasaran terjemahan (sasaran audience) dengan
mempertahankan kewajaran (naturalness) padanan tanpa menimbulkan
distorsi makna di satu pihak dan untuk memberikan dampak yang sama pada penutur
bahasa sasaran sebagaimana dampak yang diberikan dalam bahasa sumber di lain
pihak. Kecenderungan ini terlihat pada sejumlah korpus seperti: Dan tidak
jarang juga digunakan untuk main ceki. (OS1) and the place had not
infrequently been used as an arena for playing cards. (MZ) Pemadanan
melalui adaptasi banyak dipadukan dengan deskripsi bentuk dan fungsi seperti
misalnya:
1. Beberapa kali pernah direntang layar pertunjukan wayang kulit di
sana. Often the screen for a shadow puppet performance had been stretched
between two poles.
2. Sore-sore ia suka menyendiri di sudut balai banjar. In the late
afternoons he would often go off alone to a corner of the community hall.
Dari uraian yang telah disajikan dapat disimpulkan bahwa
penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa (linguistic
transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning) tetapi juga
pengalihan budaya (cultural transfer). Oleh karena itu kesenjangan
bahasa dan budaya membawa implikasi secara teoritis bahwa kajian terjemahan
tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebahasaan dan budaya. Implikasi praktis
yang ditimbulkan oleh kesenjangan budaya bahasa sumber dan budaya bahasa
sasaran mengarah pada strategi penerjemahan yang cenderung mengikuti pola
kontinum (1) semakin abstrak wujud budaya dalam bahasa sumber dan semakin asing
(unknown) konsep bahasa sumber bagi bahasa sasaran maka pemadanannya
mengarah pada borrowing dalam bahasa sasaran, dan (2) semakin kongkret
makna /konsep dalam bahasa sumber dan semakin diketahui (known/shared)
makna /konsep dalam bahasa sumber oleh penutur bahasa sasaran maka pemadanannya
cenderung berupa adaptasi dan eksplikasi.
Tinjauan pustaka
Alwasilah,
C 1997 yang berjudul “Revolusi Terjemahan” dalam koran Media
Indonesia terbitan Sabtu, 5 Juli
1997
Baker,
Mona. 1991. In Other Words: A Coursebook on Translation. London and
New York: Routledge.
Bassnett,
McGuire, S. 1980. Translation Studies. London and New York:
Methuen, revised edition 1991,Routledge
Bassnett,
Susan dan André Lefevere (Eds.). 1995. Translation, History and
Culture. USA: Cassell.
------------------------------------------------------------------------------------------------
rekan-rekan perkuliahan Prof. Harry Aveling |
Assalamualaikum,
BalasHapusSaya amat berminat dengan artikel tentang menilik implikasi budaya dalam penterjemahan. Saya perlukan rujukan-rujukan lain untuk tajuk tersebut. Bolehkah saya mendapatkannya untuk tujuan penelitian saya.