Selamat datang temans, silahkan pilih menu yang kalian sukai, jangan lupa baca Bismillah ya ^_^

pendidikan ala newtonian

Sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau jawa yang akan dilestarikan keberadaannya, melainkan manusia jawa. (Andi Hakim Nasution). Adapun usaha pelestariannya yang dipimpin oleh Menteri PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup) saat itu, bukan Emil Salim melainkan seekor harimau yang bergelar profesor, dengan cakarnya, taringnya, dan dengan kekuatanya, lanjutnya.

Ungkapan diatas bukan sebuah paradoks dari kondisi sesungguhnya, namun kemampuan menalar manusia yang tidak dimiliki oleh hewan atau makhluk hidup lainnya sering hanya dipaksa digunakan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Sistem berfikir seperti ini yang sekarang meliputi kehidupan kita. Bukan bagaimana menciptakan sesuatu yang indah, kemudian berfikir merubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, memahami sesuatu yang salah kemudian tidak melakukannya lagi namun merubahnya kedalam nilai yang lebih baik. Tidak ada proses evaluasi.

Perihal membedakan ini kiranya bukan hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan gelar kemuliaanya karena memiliki daya nalar, namun bisa dilakukan oleh hewan yang hanya memiliki instinct serta sikap survival dalam kehidupannya. Kisah tom and jerry yang merakyat tidak hanya dikalangan anak-anak namun kaum dewasa juga telah menggambarkan adanya kemampuan binatang dalam memilih. Dalam hubungan rantai makanan terjadi proses siapa memakan siapa dan siapa dimakan siapa ataupun siapa memakan apa dan apa dimakan siapa. Dan jerry(kucing) adalah pemakan tom (tikus). Sehingga dalam kehidupannya tom mengetahui bahwa jerry adalah musuhnya yang setiap saat dapat memangsanya. Setiap hewan memiliki karakter makananan kesukaannya sendiri, akan menjadi pekerjaan sia-sia jika kita memberikan rerumputan pada hewan carnivora, ataupun sebaliknya. Seekor monyet tidak akan salah pilih saat dia mengambil buah-buahan untuk makanannya, pastinya yang sudah masak.

Baiklah kita lupakan kehidupan mereka (Red. hewan), manusia mengembangkan pengetahuannya dengan sungguh-sungguh, berbeda dengan hewan yang sebatas untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Pengetahuan ini mampu dikembangkan oleh manusia karena manusia dapat berkomunikasi melalui bahasa dan manusia memiliki daya pikir yang sitematis, secara garis besar bisa disebut juga nalar. Binatang mampu berfikir namun tidak sampai pada tahap penalaran. Kalaupun memang instink hewan lebih tajam dari manusia. Ketika akan terjadi gunung meletus, dengan kemampuan instinct-nya lebih dulu cepat mengetahui ketimbang profesor sekalipun yang berkecimpung diranah geologi.

Jika sistem kehidupan kita hanya mengajarkan kita untuk memilih, maka sangat sedikit sekali potensi nalar manusia yang digunakan. Lalu apa bedanya kita dengan hewan atau makhluk hidup lainnya. Paradigma berfikir manusia dipengaruhi oleh tiga aspek yang sangat menyentuh kepentingan kita pada saat ini. Aspek itu adalah pembangunan, organisasi, dan pendidikan. Hal senada disampaikan oleh Prof. A. Mappadjantji Amien, kita tidak mampu mengingkari adanya berbagai kemudahan yang disediakan oleh sains modern, salah satu produknya adalah teknologi, namun kita juga dibuat gerah oleh dampak negatifnya terhadap peradaban manusia. Sepertinya kita harus melakukan redefinisi terhadap paradigma yang kita anut yang ternyata sampai sekarang masih jauh dari selesai. Paradigma tersebut meliputi pembangunan, organisasi, pendidikan, yang terangkum dalam kemandirian lokal.

Adapun sejarah peradaban manusia terdiri dari empat ciri spesifik yang mempengaruhi paradigma berfikir, yaitu pertama adalah zaman kebangkitan logos yang meninggalkan takhayul dan mitisisme. Kedua, yaitu zaman medieval yang kala itu di dominasi oleh gerakan gereja. Akal dan fikiran hanya digunakan dan dikembangkan untuk memberikan kebenaran terhadap wahyu. Ketiga, yaitu zaman kebangkitan rasionalisme dan empirisme dan kombinasinya. Pada masa ini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan meninggalkan teologi dan keimanan. Manusia asik memahami semesta dengan maksud mengendalikannya dan memanfaatkannya. Keempat, yaitu zaman kesadaran, era kebangkitan kembali semangat spiritual dan kesadaran manusia.

Pada tulisan ini akan menitikberatkan pada pendidikan yang merupakan bagian dari peradaban, bukan maksud untuk membahas secara parsial namun pembangunan dan organisasi adalah sintesis dari pendidikan. Sedangkan antitesisnya dihasilkan dari proses pemikiran pelakunya. Kalaupun ada yang tidak sejalan dengan paradigma yang diajarkan, namun sikap pelakunya ini sangat besar terarahkan melalui paradigma pendidikan yang didapatkannya. Pendidikan tidak hanya meliputi pendidikan formal, namun tidak kita pungkiri jika pendidikan formal memiliki porsi besar untuk mempengaruhi paradigma berfikir seseorang.

Kita sekarang berada pada era ke empat di zaman ini yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh newton. Bahwa pendidikan ditekankan pada upaya-upaya untuk memperkenalkan narasi-narasi besar yang melatarbelakangi peradaban kehidupan yang terbentuk. Dengan harapan pelajar dapat memelihara dan mengembangkannya untuk menjaga keberlangsungan peradaban tersebut.



Karakteristik pendidikan Newtonian

Ada empat karakteristik pendidikan newtonian yaitu aktivitas yang konservatif, tidak mengajarkan perubahan, alih pengetahuan, dan reduksionisme, dan instrumentalisme yang kental. Jika diamati, karakter ini ada dalam pendidikan di Indonesia.

Aktivitas konservatif dapat didefinisikan bahwa proses pendidikan hanya mengajarkan cara untuk mempertahankan dan memelihara kondisi dan situasi yang ada pada saat ini. Sistem pendidikannya tidak didesain untuk menghadapi perubahan – perubahan apalagi mengelola atau mendorong terjadinya perubahan. Selain itu mengejawantahkan pendidikan kita kedalam berbagai disiplin ilmu yang semakin sempit dan ketat. Secara tidak langsung terdefinisikan menjadi abdi setia dari dunia usaha yang hakikatnya merupakan kegiatan-kegiatan eksploitasi semesta. Bukan jiwa enterpreneurship.

Ciri yang selanjutnya adalah tidak mengajarkan perubahan yaitu pembelajaran pemeliharaan memperlakukan pengetahuan hanya sebagai label, deskripsi dan kategori yang dapat diukur juga dimanipulasi sebagai kualitas informasi yang diserap. Pelajar hanya mempelajari menamai makna bukan memahami dan merasakan makna. Mengajarkan kita tentang deskripsi pengalaman masa lalu. Dengan tujuan akan berguna untuk menghadapi fenomena masa depan, karena pada dasarnya fenomena yang akan terjadi di masa datang merupakan replika fenomena dari masa lalu. Jadi tidak mengajarkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dimasa datang.

Alih pengetahuan memiliki definisi bahwa pendidikan hanya proses transfer pengetahuan. Pada proses ini meliputi dua pihak, yaitu orang yang mentransfer pengetahuan tersebut (guru) dan yang diberi pengetahuan (pelajar). Karena diyakini bahwa kebenaran bersifat absolut maka dalam proses pentransferannya pun tidak ditanamkan untuk menciptakan kebenaran lain. Pengajaran ini tidak lebih hanya memenuhi ruang otak pelajar, tanpa mengetahui seberapa penting informasi ini diperlukan untuk pelajar tersebut. Adapun keberhasilannya terletak pada seberapa baik pelajar tersebut menghapal kemudian mereproduksinya kembali dengan inti dan tampilan yang sama. Teringat beberapa guru bahasa inggris tingkat SMU menyoalkan tentang pembelajaran genre yang dikembangkan oleh Haliday yang pada akhirnya terjadi dikotomi dalam memahami konsep writing. Haliday melihat konsep writing dari bahasa dan sifatnya, lexical grammar, set of choices dan melalui pendekatan sistemik.

Selanjutnya adalah karakter reduksionisme. Benar-benar ada reduction dalam pendidikan. Kaitan pembelajarannya hanya meliputi arena materialis dan fisik yaitu pengetahuan yang dapat diindrakan saja. Sistem ini hanya menekankan pada kecerdasan linguistic dan logis-matematis, dan kurang memberikan ruang untuk kecerdasan lainnya seperti kecerdasan spiritual, emosional, leadership, spasial, dan lain-lain yang kita kenal dengan multiple intellegences. Kecerdasan-kecerdasan ini belum tergali apalagi terberdayakan. Hal ini pun berimbas kepada paradigma berfikir orang tua yang hanya bangga jika anaknya memiliki nilai yang bagus dalam pelajaran matematika atau bahasa, tidak karena memiliki sikap leadership yang baik atau kecerdasan spiritualnya yang menonjol.

Karakter yang terakhir dari pendidikan newtonian adalah instrumentalisme yang kental. Bahwa pendidikan tak lebih dari proses industri dan manusia adalah bahan bakunya. Sering kita mendengar istilah pencetakan sumber daya manusia untuk menggambarkan proses pendidikan. Kalau boleh meminjam istilah industri, bahwa keberhasilan dari proses industrinya adalah efisiensi dan produktivitas. Prosedur ini ditiru melalui kurikulum yang ketat dengan tujuan dapat mencetak keluaran yang sesuai dengan kualifikasi. Begitupun dari proses kelulusan melalui sistem UAN yang hingga sekarang masih terjadi kontradiktif dikalangan akademisi.

Dapat kita amati juga dari soal-soal ujian yang banyak menggunakan format multiple choice (pilihan ganda). Pelajar hanya memilih alternatif jawaban yang benar. Bukan membuat jawaban yang benar apalagi memberi mereka ruang untuk menganalisis jawaban yang mereka punya sehingga memiliki landasan ilmiah yang kuat.

Akhirnya, tidak bijak kiranya hanya membeberkan masalah tanpa mencoba merekomendasikan solusinya. Saatnya sekarang memberikan ruang yang seluas mungkin bagi perkembangan nalar manusia. Sepertinya kita harus melakukan reorientasi terhadap pendidikan kita dengan maksud membekali pelajar dengan kesadaran berevolusi dan berpartisipasi untuk keberlangsungan hidup yang akan datang. Ciptakan jiwa-jiwa kreatif dan enterpreneurship, yang tidak hanya mampu mempelajari makna namun juga memaknai makna. Tidak hanya memiliki jawaban terhadap sebuah fenomena, namun dapat menciptakan jawaban lainnya atas fenomena tersebut. Sepertinya pembelajaran yang sesuai untuk mewujudkan cita-cita kita terdapat pada konsep pembelajaran yang dikemukakan oleh Einstein dan Russel (1993) yaitu melalui pembelajaran transformatif yang berkaitan dengan pengembangan internal, yaitu melalui pengembangan kapasitas diri dan pembelajaran evolusioner diarahkan pada pengembangan eksternal melalui kompetensi berevolusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...