Semoga bermanfaat dan memotivasi. amin
Hadits yang Pertama
Dari
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk
berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits yang Kedua
Dari
Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa
tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)
Hadits yang Ketiga
Dari
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun
depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)
Beliau berkata (Syarh Riyadhush Shalihin, Ibnul Utsaimin), “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari
sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang
Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram-
adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan
menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas
nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya
dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya
serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat
yang besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka
tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari
ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya,
serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa
sebagai rasa syukur kepada Allah”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa
Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang
bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi
yang terdahulu. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling
berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini
(Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung
semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68).
Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap
Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir
terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk
berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk
menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan
berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan
puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh
karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau
menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3.
Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi
Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak
menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber:
Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah
Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Rifai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...