Selamat datang temans, silahkan pilih menu yang kalian sukai, jangan lupa baca Bismillah ya ^_^

Da’i yang “Digendong” Merupakan Beban bagi Dakwah!

Kalian dapati manusia seperti seratus unta, hampir-hampir seseorang tidak mendapati darinya satu unta pemikul beban[1].

Dengan kajian singkat nan mendalam, nabi Muhammad SAW mensifati kafilah da’i di era manapun.
Sabda Rasulullah SAW ini sebenarnya berlaku untuk seluruh manusia, apapun kondisinya, apapun bidang kehidupannya. Hanya saja, sabda beliau SAW lebih lebih melekat dengan kondisi dakwah, dan lebih erat dengan bidang kerja fi sabilillah.

Dalam mendefinisikan rahilah (pemikul beban), para pakar bahasa berkata: ia adalah unta yang bagus, pilihan, memiliki sifat sempurna, sedap dipandang, kuat dalam memikul beban dan melakukan perjalanan jauh, dan hal ini sangat dikenal dalam dunia per-unta-an, sebab, jumlahnya sedikit dan langka.
Para rawahil dari kalangan para da’i faktanya seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang bagus, pilihan, mendekati sempurna, sisi bagus zhahirnya menggambarkan kebagusan batinnya, kamu dapati sebagian mereka –meskipun badannya lemah- kekuatan, kekar dalam memikul beban-beban dakwah, melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, tidak mencari-cari alasan, tidak meminta udzur, dalam kamusnya tidak ada kata “duduk berpangku tangan”, juga tidak ada kosa kata “menyerah”, ditengah kancah para da’i mereka dikenal demikian, menonjol karena tanda-tanda dan penampilannya, tanpa mengiklankan diri, berletih-letih untuk dakwah dan mensupport dengan memeras dirinya.

Kalau saja para “rawahil” itu hanya memikul diri dan bebannya saja, menunaikan tugasnya saja, namun, realitanya, sering sekali –umumnya dan ghalib-nya- -juga dikarenakan sebagian da’i lainnya tidak mau menolong, bermalas-malasan dan suka menunda-nunda- mereka juga memikul beban berat selain diri mereka, menunaikan berbagai kewajiban “orang lain” itu, seakan mereka adalah “ghutsa’” yang “digendong”

Kalau saja “orang-orang yang digendong” itu cukup meletakkan beban mereka ke pundak “para penggendong”, lalu mereka berjalan sendiri menggunakan kaki mereka, sehingga banyak meringankan para “rawahil” yang menggendong, akan tetapi, “yang digendong” itu pilihannya selalu ingin “naik dan di depan” tanpa mau berjerih payah, tidak menginfakkan waktu atau harta, lisannya yang tajam dengan enteng meluncurkan keburukan “orang-orang yang menggendongnya” saat “para penggendong” ini merasa kesakitan atas beban yang digendongnya, atau dari mereka terdengan rintihan rasa sakit.Ini satu tipe dari “orang-orang yang digendong”

Ada lagi tipe lain dari mereka yang tidak kalah bahayanya daripada yang telah kami sebutkan. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka merupakan rintangan di tengah jalan sebuah misi, beban di atas punggung “para penggendong”, punggung para “rawahil”. Mereka adalah kelompok da’i yang “bagai katak dalam tempurung”, berenak-enakan dalam “teduh”-nya dunia, mereka memiliki gelar da’i, cukup puas dengan kehormatan gelar ini, tidak bosan-bosannya menyanyikan kehormatannya ini siang malam, lisannya tidak pernah kelu dalam menyanjung nilai-nilai luhur para da’i dan para pembawa misi perbaikan di masa lalu dan masa sekarang, menceritakan jerih payah dan “sumbangan” mereka, sekedar membasahi bibirnya dengan semua ini, tanpa mau menunaikan kewajiban “gelar mulianya sebagai da’i”, selalu menyuguhkan alasan-alasan lemah dan argumentasi-argumentasi cair, pasrah bahwa di sana masih ada da’i yang meenjalankan kewajiban dan tugas tersebut selain dirinya, di sana ada yang memikirkkannya, di sana ada yang membuat qarar, bahkan di sana ada yang men-tanfidz (melaksanakan) tanpa mereka harus terlibat. Jadinya, para da’i yang “digendong” ini menganggurkan potensi akal mereka, membuat pangling hatinya, melumpuhkan organ tubuhnya, dan membuat bisu lisannya kecuali dalam hal menyerang para da’i yang berusaha menggerakkan yang diam, menghidupkan yang mati, menyadarkan indra mereka, macam-macamlah bahasa serangan itu; reaksioner lah, dha’futs tsiqah (tidak tsiqah) kepada qiyadah lah, tidak tsiqah kepada manhaj lah, dan semacamnya.
Bisa jadi sebagian mereka berkata –sambil bersantai tidak mau bercapek-capek melakukan perbaikan, atau sudah frustasi menjalankan misi perubahan- : “Kelangkaan ‘para rawahil’ ini memang merupakan sunnatullah, fitrah dan hukum alam yang tidak perlu kita lawan atau bekerja untuk merubahnya, dan bahwa masalah jumlah para aktifis dan mujahidin, jangan dipermasalahkan dalam logika Islam, sebab “sering sekali kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak, dengan seijin Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah: 249)”, ... dan seterusnya.
Akan tetapi, menurut persepsi saya, alasan itu benar saat kelompok yang sedikit itu, seluruhnya, atau paling tidak mayoritasnya, merupakan “rawahil” dan bukan sebaliknya; di mana “rawahil”-nya hanya beberapa biji, sedangkan mayoritasnya adalah mereka-mereka “yang digendong” membebani punggung “para rawahil”.
Faktor “angka” atau “jumlah” memang tidak kita hitung saat terjadi muwajahah (face a face) antara dakwah dan musuh-musuhnya dari luar, dalam rangka membenarkan firman Allah SWT; Tuhan kita dan mengimani janji-Nya. Namun, faktor ini jelas diperhitungkan saat terkait dengan berbagai kalkulasi internal terhadap orang-orang yang telah tergabung kepada dakwah, di mana mereka telah dikalkulasi sebagai para pemikulnya, orang-orang yang menjalankannya dan para mujahidin di jalannya.

Dampak

Tidak diragukan lagi bahwa fenomena “da’i yang digendong” ini memberi dampak mendalam dan bahaya terhadap perjalanan amal da’awi (kerja dakwah), produktifitasnya, dan personelnya.

Mengenali sebagian dampak ini akan dapat mendorong kita untuk bersungguh-sungguh dalam upaya menjauhinya dengan cara meng-‘ilaj penyakit dakwah ini.

Diantara dampaknya penyakit ini adalah:

1.       Merintangi para da’i yang menjadi “rawahil”, mengganggu jerih payah mereka, memperlambat perjalanan mereka, dan membatasi atau meng-cut off kemampuan mereka untuk membawa beban tambahan.
2.       Penyakit ini adalah penyakit menular. Sangat mungkin penyakit “digendong” ini menular kepada para da’i lain yang bergaul dekat dengan mereka. Terutama dari mereka yang lemah immunitasnya dan kendor semangatnya. Dengan demikian, “da’i yang digendong” ini akan menjadi teladan bagi mereka yang bermalas-malasan dan orang-orang yang lemah atau kendor semangat.
3.       Banyak membuang dan menyia-nyiakan waktu, menghabiskan potensi untuk menyelesaikan berbagai musykilah yang ditimbulkan oleh mereka. Kalau saja sebagian dari waktu dan potensi ini dipergunakan untuk dakwah, niscaya akan mampu membuat capaian-capaian berharga dan success yang baik.

Penyebab

Jika kita hendak meng-‘ilaj fenomena “da’i yang digendong” ini, demi meringankan beban para “rawahil”, dan menambah jumlah da’i yang mampu menggendong, terlebih dahulu kita harus menyenali berbagai sebabnya, untuk kita hindari. Juga untuk membentengi para da’i dari penyakit ini.

Perlu juga kita ketahui bahwa penyebab munculnya fenomena ini pada satu kelompok da’i berbeda dengan kelompok lainnya. Hanya saja, dalam pembicaraan kita kali ini, semuanya kita bicarakan sekaligus, sebab, umumnya dampaknya sama.

1.       Al-wahn al-qalbi (adanya penyakit wahn di dalam hati), mungkin karena hubbud-dun-ya (cinta dunia), ghoflah ‘anil mauti (melalaikan kematian) dan tidak mempersiapkan diri untuknya.
2.       Fasadun-niyyah (niat yang rusak) saat bergabung dengan dakwah; mengkin menjadikan dakwah ini sebagai tempat untuk mendapatkan pekerjaan yang darinya ia mendapatkan uang, atau menjadikannya sebagai sarana untuk memunculkan dan mempopulerkan dirinya, atau untuk mendapatkan ketokohan sosial. Orang-orang semacam ini menginginkan dakwah berkhidmah (melayani) mereka, bukan mereka berkhidmah (melayani) dakwah, dakwah menghidupi mereka, dan bukan mereka menghidupi dakwah. Mereka mirip thufailiyyat (benalu) yang memakan jatah  pihak lain. Mereka ini adalah orang-orang yang fid-da’wah (dalam dakwah) namun bukan minha (bagian dari dakwah). Bagi mereka, “dakwah ibarat bunga yang diletakkan pada hiasan pakaian mereka, tampak indah menawan, menarik perhatian, memikat rasa takjub, namun, saat layu, dibuanglah bunga itu, lalu mereka mencari mawar baru atau dakwah baru, mereka berambisi untuk dipilih di setiap kali ada pembentukan majlis idarah (pengurus), menjadi wakil pada setiap delegasi dan menghadiri setiap pertemuan”. Demikian kutipan dari DR. Fathi Yakan –Allahu yarham.
3.       Cara pandang (visi) yang kacau, tidak memiliki wijhah (orientasi), tidak mengetahui tabiat jalan dakwah dan tuntutan-tuntutan perjalanannya, serta keharusan memberikan berbagai tadh-hiyyah mereka yang menjalaninya.
4.       Sibuk dengan urusan dunia pribadinya secara berlebihan, rakus dalam menghimpun harta, hanyut dalam mengejar kelezatan dan syahwatnya, dan penyakit ini mennular secara timbal balik kepada istri dan anaknya. “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu tidak  lain adalah fitnah” (Q.S. At-Taghabun: 15).
5.       Pengaruh lingkungan, keluarga dan masyarakat tempat sang da’i berasal dan berada dan hal-hal negatif yang tumbuh mengakar menjadi tabiat dirinya. Semua ini tetap meninggalkan pengaruh pada diri da’i, hatta setelah ia bergabung kepada dakwah, dan perlu waktu panjang serta jerih payah yang tidak ringan untuk meng-‘ilaj-nya.
6.       Ketergesa-gesaan murabbi dalam menilai melalui berbagai momentum sikap dan mu’ayasyah dangkal atau permukaan, serta drama atau sandiwara ujian dan tes dan bukan yang sebenarnya. Hal ini berdampak seseorang terpaksa memasuki pekerjaan dan mas-uliyyah yang x`lebih besar daripada dirinya, sebelum matang dengan baik dan penyempurnaan tarbiyahnya.

Tidak diragukan lagi bahwa semua sebab ini, seluruhnya, sumbernya satu, yaitu dha’fut-tarbiyah al-awaliyyah (lemahnya tarbiyah pertama), yaitu:
- Tarbiyah yang diterima seorang da’i pada awal keterkaitannya dengan dakwah ini.
- Pengabaian terhadap kerja dan idarah yang baik.
- Tidak terpenuhinya murabbi yang mumpuni yang men-tarbiyah para da’i sesuai dengan manhaj yang benar

Sehingga tugas ini dilakukan oleh kalangan; mungkin orang yang mengaku-aku, terseret oleh arus, terpaksa, atau dakwah terpaksa memakai mereka, lalu menempatkan mereka pada posisi murabbi, sementara mereka lebih perlu untuk ditarbiyah, akibatnya, nilai yang ditanamkan oleh mereka kepada para mutarabbinya adalah nilai yang rusak, dan qudwah yang mereka berikan adalah qudwah yang cacat.


Gejala di Permukaan

Jika sebab-sebab ini terpenuhi, atau sebagiannya, mulailah tampak gejala muncul di permukaan. Hal ini merupakan pertanda (indikator) yang harus menarik perhatian para murabbi untuk menanganinya secara dini sebelum parah dan mengakar. Di antara gejala-gejala ini adalah:

1.       Obsesi dakwah yang enteng dan tidak merasakan keagungan risalah yang dipikulnya. Jadi, tidak ada space dakwah dalam hati sang da’i “yang digendong” ini, juga pada akal pikirannya. Tidak kita dapati pada dirinya pengaruh positif atas sukses yang diraih oleh dakwah, atau futuhat yang dibuka olehnya. Juga tidak terkesan oleh kegagalan yang dialami oleh dakwah, atau oleh mihnah yang menimpanya.
2.       Tidak itqan dalam menjalankan kewajiban dakwah. Ini kalau dia masih mau menjalankannya. Terlebih lagi kalau dia mengabaikan dan berlepas diri dari banyak kewajiban sama sekali.
3.       Pasrah, pasif, tidak mandiri, tidak bergerak kecuali dengan terpaksa dan tidak bekerja kecuali sekedar menghilangkan rasa tidak enak bila dievaluasi.
4.       Memberikan untuk dakwah sisa waktu, sisa tenaga dan sisa harta, padahal dakwah tidak hidup sama sekali dari barang-barang sisa. Gengsi dakwah menuntut dia mendapatkan makanan dari yang mulia dan berharga. “Kalian tidak mendapatkan kebajikan sehingga menginfakkan sebagian dari yang kalian cintai”. Q.S. Ali Imran: 92[2].
5.       Sering mengemukakan udzur yang lemah serta alasan yang tidak benar saat mengabaikan tugas dakwah, baik udzur yang mereka kemukakan untuk diri mereka sendiri ataupun yang mereka kemukakan kepada orang lain untuk menghindari celaan dan evaluasi.
6.       Banyak kritik, dengan benar atau tidak, selalu berteori tanpa amal, mencari-cari aib, salah, kelemahan dan membesar-besarkannya tanpa mengemukakan solusi atau alternatif.
7.       Menolak nasihat, marah saat diingatkan, nyesek saat dicela
8.       Selalu mengincar posisi qiyadah, berambisi untuknya dan menunutnya padahal tidak memiliki pilar-pilarnya serta berpangku tangan dan mengabaikan tugas jika posisi itu dipegang oleh orang lain.
9.       Berkeluh kesah saat terkena cobaan dan cepat tumbang di hadapan fitnah dan tribulasi. “Dan diantara manusia ada sebagian yang berkata: “Kami telah beriman kepada Allah”. Tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata: “Sesungguhnya kami bersama kamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa  yang ada di dalam dada semua manusia?”. Q.S. Al-‘Ankabut: 10
10.   Mengungkit-ungkit para da’i lainnya dan juga mengungkit-ungkit dakwah karena sedikitnya hal yang disumbangkannya, serta memperbesar amalnya, meskipun kecil, padahal, umumnya pemberian dia memang kecil.


Bagaimana Meng-‘Ilaj-nya?
Dengan mengenali sebab dan gejala, mudahlah bagi kita untuk meng-‘ilaj, sebab, ia tidak lain kecauali dengan menjauhi sebab-sebab ini dan meniadakannya, memperhatikan dan menyadari gejala-gejala ini sedari awal dan meng-‘ilaj-nya sebelum menjadi-jadi.

Semua ini caranya satu, yaitu tarbiyah, kemudian tarbiyah, kemudian tarbiyah, konsen untuk memperbaiki unsur-unsurnya, baik sisi murabbi, manhaj, lingkungan yang mendukung, dalam bentuk berkesinambungan, seiring dengan amal, pengingatan selalu tentang nilai misi yang diemban, ghayah, mutabaah, taqwim terus menerus, cross cek terhadap unsur-unsur proses tarbiyah, merevisi yang perlu direvisi, sinergi dengan segala yang mutaghayyirat tanpa mengabaikan tsawabit yang hakiki, bukan yang oleh sebagian orang diduga tsawabit, melakukan muhasabah poin per poin, sesekali dengan tegas dan keras, penuh perasaan dan kelembutan pada kali yang lain; sesuai dengan situasi dan kondisi, berpegang pada prinsip musharahah (terus terang) dan syafafiyyah (transparan), sesuai dengan akhlaq yang menjadi bimbingan agama kita, juga sesuai dengan kewajiban amanah dakwah yang difardhukan kepada kita.

Inilah yang mesti kita lakukan, jika tidak, dakwah yang sisi-sisinya menjadi sarang bagi orang-orang yang perlu “digendong”, yang menunggangi punggung para “rawahil”nya, saya yakin tidak bisa diharap mempu menggapai risalahnya secara sempurna, dan tidak akan mampu melaksanakan amanahnya sebagaimana layaknya, dan akan terus menerus disedot potensinya, waktunya dan hartanya, dan setiap kali jumlah “orang-orang yang digendong” bertambah, semakin lambatlah jalan “para rawahil”, jalan yang tempuh menjadi panjang, tidak segera tampak ujung akhirnya, dan usahanya tidak segera memunculkan tanda-tanda kesuksesan.

Kami memohon kepada Allah SWT semoga Dia menjadikan kita sebagai orang yang bekerja di jalan-Nya, tidak menggantikan kita dengan yang lain, dan semoga menjadikan kita sebagai orang-orang yang memikul dakwah-Nya, dan menyampaikan risalah-Nya.
-------------------------------------------------------------------
[1] Dalam Shahih Muslim [4620]: Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kalian dapati manusia seperti seratus unta, Seseorang tidak mendapati darinya satu unta pemikul beban”.
[2] Sebagian pembaca makalah ini ada yang berkomentar: “Saat aku membaca kalimat ini, saya teringat seorang ukht –saya kira dia termasuk orang-orang yang Allah berikan kenikmatan untuk memikul amanah-Nya lalu menunaikannya secara sempurna-; Semenjak beberapa waktu lalu ia telah lulus dari sebuah universitas. Maka saya tanya dia: ‘4 tahun anti telah bekerja dalam dakwah di kampus, pelajaran apa yang anti dapatkan?’. Ia menjawab: ‘Tadh-hiyah dan kontribusi; tadh-hiyah dengan waktu, bukan dari sisanya, tetapi dari keseluruhannya, tadh-hiyah dengan rehat yang menjadi kecenderungan jiwa dengan cara menolaknya. Betul seseorang yang berkata: ‘Anda tidak akan terbiasa menikmati lezatnya mengambil sehingga terbiasa menikmati kelezatan memberi’.
Dan saya kira, dakwah tidak akan tegak kecuali di atas pundak orang-orang yang bertadh-hiyah secara benar, dengan seluruh waktunya, dan saya tidak memandang tadh-hiyah mereka itu kecuali hal itu merupakan bentuk infak yang akan mendapatkan balasannya dari Allah SWT ...



-----------------------------------------------------------------------------------
Saya memohon kepada Allah SWT, semoga Dia menjadikan kita termasuk dalam kelompok “rawahil” ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...