“Kalian dapati manusia seperti
seratus unta, hampir-hampir seseorang tidak mendapati darinya satu unta
pemikul beban”[1].
Dengan kajian singkat nan mendalam,
nabi Muhammad SAW mensifati kafilah da’i di era manapun.
Sabda Rasulullah SAW ini sebenarnya
berlaku untuk seluruh manusia, apapun kondisinya, apapun bidang
kehidupannya. Hanya saja, sabda beliau SAW lebih lebih melekat dengan
kondisi dakwah, dan lebih erat dengan bidang kerja fi sabilillah.
Dalam mendefinisikan rahilah
(pemikul beban), para pakar bahasa berkata: ia adalah unta yang bagus,
pilihan, memiliki sifat sempurna, sedap dipandang, kuat dalam memikul
beban dan melakukan perjalanan jauh, dan hal ini sangat dikenal dalam
dunia per-unta-an, sebab, jumlahnya sedikit dan langka.
Para rawahil
dari kalangan para da’i faktanya seperti itu. Mereka adalah orang-orang
yang bagus, pilihan, mendekati sempurna, sisi bagus zhahirnya
menggambarkan kebagusan batinnya, kamu dapati sebagian mereka –meskipun
badannya lemah- kekuatan, kekar dalam memikul beban-beban dakwah,
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, tidak mencari-cari alasan, tidak
meminta udzur, dalam kamusnya tidak ada kata “duduk berpangku tangan”,
juga tidak ada kosa kata “menyerah”, ditengah kancah para da’i mereka
dikenal demikian, menonjol karena tanda-tanda dan penampilannya, tanpa
mengiklankan diri, berletih-letih untuk dakwah dan mensupport dengan
memeras dirinya.
Kalau
saja para “rawahil” itu hanya memikul diri dan bebannya saja, menunaikan
tugasnya saja, namun, realitanya, sering sekali –umumnya dan
ghalib-nya- -juga dikarenakan sebagian da’i lainnya tidak mau menolong,
bermalas-malasan dan suka menunda-nunda- mereka juga memikul beban berat
selain diri mereka, menunaikan berbagai kewajiban “orang lain” itu,
seakan mereka adalah “ghutsa’” yang “digendong”
Kalau
saja “orang-orang yang digendong” itu cukup meletakkan beban mereka ke
pundak “para penggendong”, lalu mereka berjalan sendiri menggunakan kaki
mereka, sehingga banyak meringankan para “rawahil” yang menggendong,
akan tetapi, “yang digendong” itu pilihannya selalu ingin “naik dan di
depan” tanpa mau berjerih payah, tidak menginfakkan waktu atau harta,
lisannya yang tajam dengan enteng meluncurkan keburukan “orang-orang
yang menggendongnya” saat “para penggendong” ini merasa kesakitan atas
beban yang digendongnya, atau dari mereka terdengan rintihan rasa
sakit.Ini satu tipe dari “orang-orang yang digendong”
Ada lagi
tipe lain dari mereka yang tidak kalah bahayanya daripada yang telah
kami sebutkan. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka merupakan rintangan
di tengah jalan sebuah misi, beban di atas punggung “para penggendong”,
punggung para “rawahil”. Mereka adalah kelompok da’i yang “bagai katak
dalam tempurung”, berenak-enakan dalam “teduh”-nya dunia, mereka
memiliki gelar da’i, cukup puas dengan kehormatan gelar ini, tidak
bosan-bosannya menyanyikan kehormatannya ini siang malam, lisannya tidak
pernah kelu dalam menyanjung nilai-nilai luhur para da’i dan para
pembawa misi perbaikan di masa lalu dan masa sekarang, menceritakan
jerih payah dan “sumbangan” mereka, sekedar membasahi bibirnya dengan
semua ini, tanpa mau menunaikan kewajiban “gelar mulianya sebagai da’i”,
selalu menyuguhkan alasan-alasan lemah dan argumentasi-argumentasi
cair, pasrah bahwa di sana masih ada da’i yang meenjalankan kewajiban
dan tugas tersebut selain dirinya, di sana ada yang memikirkkannya, di
sana ada yang membuat qarar, bahkan di sana ada yang men-tanfidz
(melaksanakan) tanpa mereka harus terlibat. Jadinya, para da’i yang
“digendong” ini menganggurkan potensi akal mereka, membuat pangling
hatinya, melumpuhkan organ tubuhnya, dan membuat bisu lisannya kecuali
dalam hal menyerang para da’i yang berusaha menggerakkan yang diam,
menghidupkan yang mati, menyadarkan indra mereka, macam-macamlah bahasa
serangan itu; reaksioner lah, dha’futs tsiqah (tidak tsiqah)
kepada qiyadah lah, tidak tsiqah kepada manhaj lah, dan
semacamnya.
Bisa jadi
sebagian mereka berkata –sambil bersantai tidak mau bercapek-capek
melakukan perbaikan, atau sudah frustasi menjalankan misi perubahan- :
“Kelangkaan ‘para rawahil’ ini memang merupakan sunnatullah, fitrah dan
hukum alam yang tidak perlu kita lawan atau bekerja untuk merubahnya,
dan bahwa masalah jumlah para aktifis dan mujahidin, jangan
dipermasalahkan dalam logika Islam, sebab “sering sekali kelompok yang
sedikit mengalahkan kelompok yang banyak, dengan seijin Allah SWT (Q.S.
Al-Baqarah: 249)”, ... dan seterusnya.
Akan
tetapi, menurut persepsi saya, alasan itu benar saat kelompok yang
sedikit itu, seluruhnya, atau paling tidak mayoritasnya, merupakan
“rawahil” dan bukan sebaliknya; di mana “rawahil”-nya hanya beberapa
biji, sedangkan mayoritasnya adalah mereka-mereka “yang digendong”
membebani punggung “para rawahil”.
Faktor
“angka” atau “jumlah” memang tidak kita hitung saat terjadi muwajahah
(face a face) antara dakwah dan musuh-musuhnya dari luar, dalam rangka
membenarkan firman Allah SWT; Tuhan kita dan mengimani janji-Nya. Namun,
faktor ini jelas diperhitungkan saat terkait dengan berbagai kalkulasi
internal terhadap orang-orang yang telah tergabung kepada dakwah, di
mana mereka telah dikalkulasi sebagai para pemikulnya, orang-orang yang
menjalankannya dan para mujahidin di jalannya.
Dampak
Tidak
diragukan lagi bahwa fenomena “da’i yang digendong” ini memberi dampak
mendalam dan bahaya terhadap perjalanan amal da’awi (kerja dakwah),
produktifitasnya, dan personelnya.
Mengenali
sebagian dampak ini akan dapat mendorong kita untuk bersungguh-sungguh
dalam upaya menjauhinya dengan cara meng-‘ilaj penyakit dakwah
ini.
Diantara
dampaknya penyakit ini adalah:
1. Merintangi para da’i yang menjadi “rawahil”,
mengganggu jerih payah mereka, memperlambat perjalanan mereka, dan
membatasi atau meng-cut off kemampuan mereka untuk membawa beban
tambahan.
2. Penyakit ini adalah penyakit menular. Sangat
mungkin penyakit “digendong” ini menular kepada para da’i lain yang
bergaul dekat dengan mereka. Terutama dari mereka yang lemah
immunitasnya dan kendor semangatnya. Dengan demikian, “da’i yang
digendong” ini akan menjadi teladan bagi mereka yang bermalas-malasan
dan orang-orang yang lemah atau kendor semangat.
3. Banyak membuang dan menyia-nyiakan waktu,
menghabiskan potensi untuk menyelesaikan berbagai musykilah yang
ditimbulkan oleh mereka. Kalau saja sebagian dari waktu dan potensi ini
dipergunakan untuk dakwah, niscaya akan mampu membuat capaian-capaian
berharga dan success yang baik.
Penyebab
Jika kita
hendak meng-‘ilaj fenomena “da’i yang digendong” ini, demi
meringankan beban para “rawahil”, dan menambah jumlah da’i yang mampu
menggendong, terlebih dahulu kita harus menyenali berbagai sebabnya,
untuk kita hindari. Juga untuk membentengi para da’i dari penyakit ini.
Perlu
juga kita ketahui bahwa penyebab munculnya fenomena ini pada satu
kelompok da’i berbeda dengan kelompok lainnya. Hanya saja, dalam
pembicaraan kita kali ini, semuanya kita bicarakan sekaligus, sebab,
umumnya dampaknya sama.
1. Al-wahn al-qalbi (adanya penyakit wahn di dalam hati),
mungkin karena hubbud-dun-ya (cinta dunia), ghoflah ‘anil
mauti (melalaikan kematian) dan tidak mempersiapkan diri untuknya.
2. Fasadun-niyyah (niat yang rusak) saat bergabung dengan
dakwah; mengkin menjadikan dakwah ini sebagai tempat untuk mendapatkan
pekerjaan yang darinya ia mendapatkan uang, atau menjadikannya sebagai
sarana untuk memunculkan dan mempopulerkan dirinya, atau untuk
mendapatkan ketokohan sosial. Orang-orang semacam ini menginginkan
dakwah berkhidmah (melayani) mereka, bukan mereka berkhidmah (melayani)
dakwah, dakwah menghidupi mereka, dan bukan mereka menghidupi dakwah.
Mereka mirip thufailiyyat (benalu) yang memakan jatah pihak
lain. Mereka ini adalah orang-orang yang fid-da’wah
(dalam dakwah) namun bukan minha (bagian dari
dakwah). Bagi mereka, “dakwah ibarat bunga yang diletakkan pada
hiasan pakaian mereka, tampak indah menawan, menarik perhatian, memikat
rasa takjub, namun, saat layu, dibuanglah bunga itu, lalu mereka mencari
mawar baru atau dakwah baru, mereka berambisi untuk dipilih di setiap
kali ada pembentukan majlis idarah (pengurus), menjadi wakil pada
setiap delegasi dan menghadiri setiap pertemuan”. Demikian kutipan dari
DR. Fathi Yakan –Allahu yarham.
3. Cara pandang (visi) yang kacau, tidak memiliki wijhah
(orientasi), tidak mengetahui tabiat jalan dakwah dan tuntutan-tuntutan
perjalanannya, serta keharusan memberikan berbagai tadh-hiyyah
mereka yang menjalaninya.
4. Sibuk dengan urusan dunia pribadinya secara
berlebihan, rakus dalam menghimpun harta, hanyut dalam mengejar
kelezatan dan syahwatnya, dan penyakit ini mennular secara timbal balik
kepada istri dan anaknya. “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu tidak
lain adalah fitnah” (Q.S. At-Taghabun: 15).
5. Pengaruh lingkungan, keluarga dan masyarakat
tempat sang da’i berasal dan berada dan hal-hal negatif yang tumbuh
mengakar menjadi tabiat dirinya. Semua ini tetap meninggalkan pengaruh
pada diri da’i, hatta setelah ia bergabung kepada dakwah, dan perlu
waktu panjang serta jerih payah yang tidak ringan untuk meng-‘ilaj-nya.
6. Ketergesa-gesaan
murabbi dalam menilai melalui berbagai momentum sikap dan mu’ayasyah
dangkal atau permukaan, serta drama atau sandiwara ujian dan tes dan
bukan yang sebenarnya. Hal ini berdampak seseorang terpaksa memasuki
pekerjaan dan mas-uliyyah yang x`lebih besar daripada dirinya,
sebelum matang dengan baik dan penyempurnaan tarbiyahnya.
Tidak
diragukan lagi bahwa semua sebab ini, seluruhnya, sumbernya satu, yaitu dha’fut-tarbiyah
al-awaliyyah (lemahnya tarbiyah pertama), yaitu:
- Tarbiyah yang diterima seorang da’i
pada awal keterkaitannya dengan dakwah ini.
- Pengabaian terhadap kerja dan idarah
yang baik.
- Tidak terpenuhinya murabbi
yang mumpuni yang men-tarbiyah para da’i sesuai dengan manhaj
yang benar
Sehingga
tugas ini dilakukan oleh kalangan; mungkin orang yang mengaku-aku,
terseret oleh arus, terpaksa, atau dakwah terpaksa memakai mereka, lalu
menempatkan mereka pada posisi murabbi, sementara mereka lebih
perlu untuk ditarbiyah, akibatnya, nilai yang ditanamkan oleh mereka
kepada para mutarabbinya adalah nilai yang rusak, dan qudwah yang mereka
berikan adalah qudwah yang cacat.
Gejala di Permukaan
Jika
sebab-sebab ini terpenuhi, atau sebagiannya, mulailah tampak gejala
muncul di permukaan. Hal ini merupakan pertanda (indikator) yang harus
menarik perhatian para murabbi untuk menanganinya secara dini
sebelum parah dan mengakar. Di antara gejala-gejala ini adalah:
1. Obsesi dakwah yang enteng dan tidak merasakan
keagungan risalah yang dipikulnya. Jadi, tidak ada space dakwah
dalam hati sang da’i “yang digendong” ini, juga pada akal pikirannya.
Tidak kita dapati pada dirinya pengaruh positif atas sukses yang diraih
oleh dakwah, atau futuhat yang dibuka olehnya. Juga tidak
terkesan oleh kegagalan yang dialami oleh dakwah, atau oleh mihnah
yang menimpanya.
2. Tidak itqan dalam menjalankan kewajiban
dakwah. Ini kalau dia masih mau menjalankannya. Terlebih lagi kalau dia
mengabaikan dan berlepas diri dari banyak kewajiban sama sekali.
3. Pasrah, pasif, tidak mandiri, tidak bergerak
kecuali dengan terpaksa dan tidak bekerja kecuali sekedar menghilangkan
rasa tidak enak bila dievaluasi.
4. Memberikan untuk dakwah sisa waktu, sisa tenaga
dan sisa harta, padahal dakwah tidak hidup sama sekali dari
barang-barang sisa. Gengsi dakwah menuntut dia mendapatkan makanan dari
yang mulia dan berharga. “Kalian tidak mendapatkan kebajikan sehingga
menginfakkan sebagian dari yang kalian cintai”. Q.S. Ali Imran: 92[2].
5. Sering mengemukakan udzur yang lemah serta
alasan yang tidak benar saat mengabaikan tugas dakwah, baik udzur yang
mereka kemukakan untuk diri mereka sendiri ataupun yang mereka kemukakan
kepada orang lain untuk menghindari celaan dan evaluasi.
6. Banyak kritik, dengan benar atau tidak, selalu
berteori tanpa amal, mencari-cari aib, salah, kelemahan dan
membesar-besarkannya tanpa mengemukakan solusi atau alternatif.
7. Menolak
nasihat, marah saat diingatkan, nyesek saat dicela
8. Selalu mengincar posisi qiyadah, berambisi
untuknya dan menunutnya padahal tidak memiliki pilar-pilarnya serta
berpangku tangan dan mengabaikan tugas jika posisi itu dipegang oleh
orang lain.
9. Berkeluh kesah saat terkena cobaan dan cepat
tumbang di hadapan fitnah dan tribulasi. “Dan diantara manusia ada
sebagian yang berkata: “Kami telah beriman kepada Allah”. Tetapi apabila
dia disakiti (karena dia beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan
manusia itu sebagai siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari
Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata: “Sesungguhnya kami bersama kamu”.
Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada
semua manusia?”. Q.S. Al-‘Ankabut: 10
10. Mengungkit-ungkit para da’i lainnya dan juga
mengungkit-ungkit dakwah karena sedikitnya hal yang disumbangkannya,
serta memperbesar amalnya, meskipun kecil, padahal, umumnya pemberian
dia memang kecil.
Bagaimana Meng-‘Ilaj-nya?
Dengan
mengenali sebab dan gejala, mudahlah bagi kita untuk meng-‘ilaj,
sebab, ia tidak lain kecauali dengan menjauhi sebab-sebab ini dan
meniadakannya, memperhatikan dan menyadari gejala-gejala ini sedari awal
dan meng-‘ilaj-nya sebelum menjadi-jadi.
Semua ini
caranya satu, yaitu tarbiyah, kemudian tarbiyah, kemudian tarbiyah,
konsen untuk memperbaiki unsur-unsurnya, baik sisi murabbi, manhaj,
lingkungan yang mendukung, dalam bentuk berkesinambungan, seiring dengan
amal, pengingatan selalu tentang nilai misi yang diemban, ghayah,
mutabaah, taqwim terus menerus, cross cek terhadap unsur-unsur proses
tarbiyah, merevisi yang perlu direvisi, sinergi dengan segala yang mutaghayyirat
tanpa mengabaikan tsawabit yang hakiki, bukan yang oleh sebagian
orang diduga tsawabit, melakukan muhasabah poin per poin,
sesekali dengan tegas dan keras, penuh perasaan dan kelembutan pada
kali yang lain; sesuai dengan situasi dan kondisi, berpegang pada
prinsip musharahah (terus terang) dan syafafiyyah
(transparan), sesuai dengan akhlaq yang menjadi bimbingan agama kita,
juga sesuai dengan kewajiban amanah dakwah yang difardhukan kepada kita.
Inilah
yang mesti kita lakukan, jika tidak, dakwah yang sisi-sisinya menjadi
sarang bagi orang-orang yang perlu “digendong”, yang menunggangi
punggung para “rawahil”nya, saya yakin tidak bisa diharap mempu
menggapai risalahnya secara sempurna, dan tidak akan mampu melaksanakan
amanahnya sebagaimana layaknya, dan akan terus menerus disedot
potensinya, waktunya dan hartanya, dan setiap kali jumlah “orang-orang
yang digendong” bertambah, semakin lambatlah jalan “para rawahil”, jalan
yang tempuh menjadi panjang, tidak segera tampak ujung akhirnya, dan
usahanya tidak segera memunculkan tanda-tanda kesuksesan.
Kami
memohon kepada Allah SWT semoga Dia menjadikan kita sebagai orang yang
bekerja di jalan-Nya, tidak menggantikan kita dengan yang lain, dan
semoga menjadikan kita sebagai orang-orang yang memikul dakwah-Nya, dan
menyampaikan risalah-Nya.
-------------------------------------------------------------------
[1] Dalam Shahih Muslim [4620]:
Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kalian
dapati manusia seperti seratus unta, Seseorang tidak mendapati darinya
satu unta pemikul beban”.
[2] Sebagian pembaca makalah ini
ada yang berkomentar: “Saat aku membaca kalimat ini, saya teringat
seorang ukht –saya kira dia termasuk orang-orang yang Allah berikan
kenikmatan untuk memikul amanah-Nya lalu menunaikannya secara sempurna-;
Semenjak beberapa waktu lalu ia telah lulus dari sebuah universitas.
Maka saya tanya dia: ‘4 tahun anti telah bekerja dalam dakwah di kampus,
pelajaran apa yang anti dapatkan?’. Ia menjawab: ‘Tadh-hiyah dan
kontribusi; tadh-hiyah dengan waktu, bukan dari sisanya, tetapi dari
keseluruhannya, tadh-hiyah dengan rehat yang menjadi kecenderungan jiwa
dengan cara menolaknya. Betul seseorang yang berkata: ‘Anda tidak akan
terbiasa menikmati lezatnya mengambil sehingga terbiasa menikmati
kelezatan memberi’.
Dan saya kira, dakwah tidak
akan tegak kecuali di atas pundak orang-orang yang bertadh-hiyah secara
benar, dengan seluruh waktunya, dan saya tidak memandang tadh-hiyah
mereka itu kecuali hal itu merupakan bentuk infak yang akan mendapatkan
balasannya dari Allah SWT ...
-----------------------------------------------------------------------------------
Saya memohon kepada Allah
SWT, semoga Dia menjadikan kita termasuk dalam kelompok “rawahil” ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...