Selamat datang temans, silahkan pilih menu yang kalian sukai, jangan lupa baca Bismillah ya ^_^

Upaya mereduksi konflik bernuansa SARA. Melalui pendidikan pluralis-multikultural.

Abstrak:
Kerukunan adalah kata mutlak bagi bangsa Indonesia yang beragam. Di samping sebagai kekayaan yang luar biasa, keanekaragaman juga bisa menjadi pemicu konflik yang juga sangat mengerikan. Itulah sebabnya, para pendiri bangsa menyepakati persatuan untuk mencapai sebuah kehidupan harmonis sebagai bangsa yang beragam. Persatuan bukan diartikan sebagai penyeragaman, namun bagaimana semua keunikan bisa hidup dan tumbuh dengan damai.
Menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, 1990-an, pelbagai kerusuhan bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) muncul dan menjadi tragedi nasional yang mendapat banyak sorotan, baik dari dalam negeri maupun internasional. Muncul sejumlah pra-anggapan bahwa konflik bernuansa SARA tersebut semata-mata implikasi dari masyarakat yang sedang berubah (Huntington, 1983). Anggapan ini menyatakan bahwa masyarakat yang stabil, baik secara ekonomi maupun politik, baik yang demokratis maupun yang masih berada dalam kungkungan penguasa diktator otoritarian, cenderung mengalami guncangan. Tahun 1990-an adalah masa Indonesia yang sedang berubah. Saat itu menguat upaya mengganti rezim demokrasi Pancasila ke demokrasi liberal. Kekuasaan Soeharto, sebagai simbol demokrasi Pancasila, bahkan diturunkan oleh kekuatan pro-perubahan. Di saat-saat seperti itulah terjadi gejolak besar, termasuk munculnya konflik yang bernuansa SARA.
Dari tahun 1990-an, tercatat tidak kurang dari 30 kasus yang bernuansa SARA, sebagiannya masih berlanjut sampai sekarang. Tanggal 10 Oktober 1996, Situbondo bergolak. Pergolakan yang sama terjadi di Tasikmalaya, 26 Desember 1996. Karawang juga mengalami hal serupa pada tahun 1997. 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal di Jakarta, peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Tragedi Mei.” Tragedi Mei juga terjadi di Solo, Surabaya, Palembang, Medan, Ambon dan Makassar. Peristiwa itu membawa korban etnis Cina yang tidak sedikit, baik dalam bentuk penjarahan, pengrusakan, pembakaran, maupun pemerkosaan. Di Maluku Utara, terjadi kerusuhan agama antara kaum Muslim dan Kristen yang dimulai pada tanggal 19 Januari 1999, di mana ekses kerusuhannya masih terasa sampai sekarang. Kompleks Doulus Jalan Cipayung Jakarta Timur juga dilanda kerusuhan bernuansa SARA, Desember 1999. Berbulan-bulan bahkan tahunan terjadi kerusuhan lain di Sambas dan Sampit, Kalimantan, Poso, Sulawesi Tengah, dan Makassar, Sulawesi Selatan.
Upaya untuk mereduksi konflik yang bernuansa SARA dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan sesutau yang amat vital bagi pembentukan karakter sebuah peradaban dan kemajuan. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan pernah mendapatkan kemajuan sehingga menjadi bangsa atau masyarakat yang kurang atau bahkan tidak beradab. Oleh karenanya, peradaban lahir dari pola pendidikan yang tepat guna, efektif, dan menjawab segala tantangan zaman.

Adalah Pendidikan pluralis-multikultural yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan pendidikan pluralis-multikultural, diharapkan akna lahir kesadaran dan pemahamn secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku, eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda, apaun bentuk perbedaannya. Dalam konteks indonesia yang sarat dengan kemajemukan, pendidikan pluralis-multikultural memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengelola kemajemukan secara kreatif.

*abstract ini lolos pada Call for Paper Academy professorship Indonesia - UGM dalam serangkaian kegiatan International Graduate Students Conference, Yogyakarta 2009*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi siapapun yang mau berdiskusi, silahkan berikan kometar...